Enter your keyword

Nilam – Mahasiswa S3 ITB: Perjalanan Riset dan Exchange ke TiTech Jepang (YSEP Fall 2022)

Nilam – Mahasiswa S3 ITB: Perjalanan Riset dan Exchange ke TiTech Jepang (YSEP Fall 2022)

Testimoni YSEP Fall 2022 dari siswa S3 ITB


Foto depan Honkan (gedung utama) TiTech bersama siswa Indonesia di TiTech anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) saat Hari Batik Indonesia (Kredit: salah satu mahasiswa anggota PPI)

Halo teman-teman, genki desuka? 😀 saya Nilam, siswa S3 ITB yang ikut exchange di periode Oktober 2022-Maret 2023 lalu ke TiTech, Tokyo, Jepang. Berhubung saya siswa S3, maka testimoni exchange ke TiTech ini akan lebih ditujukan buat teman-teman yang juga sedang S3 dan ingin mencoba (research-based) exchange ke TiTech (atau bisa juga universitas lain di Jepang).. ganbatte… 🙂

Pertama, karena siswa S3 kerjaannya tak jauh dari riset, riset, dan riset, dibanding belajar di bangku kuliah, maka, agar exchange kondusif dan sejalan dengan risetnya, sebaiknya sebelum itu mulai mencari Sensei dan lab yang risetnya sebidang, kemudian mulai menjalin komunikasi untuk mendapat “restu” me-riset di lab beliau dan menyepakati lingkup pekerjaan (apakah ikut riset-riset beliau atau fokus mengerjakan riset sendiri, atau keduanya?! 😲). Kapan mulai “hunting” Sensei/lab? Pencarian akan lebih mudah kalau promotor/pembimbing di ITB sudah punya rujukan (atau bahkan rekanan?! Ini ideal sekali 🤩). Tapi kalau belum ada rujukan, hm.. Ini PR yang harus dicicil setidaknya satu semester sebelum periode pendaftaran exchange dibuka. Saya pribadi tidak dapat referensi Sensei/lab dari pembimbing, jadi hunting sendiri…

Jika belum ada referensi, mulai pencarian Sensei/lab dari mana? Mulai dari memilih universitas. Saya pilih universitas di mana ada profesor yang risetnya sebidang dan bahkan papernya saya rujuk. Niatnya, saya mau belajar dari Sensei yang bersangkutan. Buat siswa S3, pasti baca paper sudah jadi makanan harian/mingguan (atau bulanan?! 😀). Nah, saya mengumpulkan penulis-penulis yang papernya saya rujuk (terutama untuk proposal riset), yang bidangnya sesuai riset saya, dan universitasnya masuk ke daftar universitas yang menyelenggarakan exchange dengan ITB.

Lebih bagus lagi jika disempatkan bertanya-tanya dengan mahasiswa Indonesia yang ada di lab incaran atau yang tahu tentang lab tersebut. Teman-teman bisa cari info di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di TiTech (ada website dan akun media sosialnya). Sayangnya saya tak melakukan ini karena tak tahu kalau ini pun penting. Kenapa? Karena habit di masing-masing lab berbeda-beda tergantung Sensei lab tersebut, misalnya berapa kali pertemuan rutin, apakah Sensei prefer pengerjaan di lab atau justru harus remote, kondisi lab seperti apa, harus jadi research assistant atau bagaimana, dan seterusnya. Lab tempat saya exchange beraktivitas secara remote untuk mengakses server riset atau pun pertemuan mingguan, sehingga lab sering kali kosong setiap saya kunjungi. Jadi, saya lebih sering mengerjakan riset di kampus Ookayama TiTech, walau lab saya di kampus Suzukakedai. TiTech ada 3 kampus; Ookayama, Suzukakedai, dan Tamachi, seperti halnya ITB ada di Ganesha, Jatinangor, dan Cirebon. Saya pribadi suka me-riset dari Ookayama, karena selain suasananya lebih “hidup”, kondisinya juga “terang” dan ramai saat malam, yang penting riset jalan terus 😀


Foto tempat favorit belajar dan me-riset secara remote di Ookayama saat masa libur di pertengahan semester (jadi sepi 😃) (Kredit: Nilam)

Saat saya daftar exchange ke TiTech, proses seleksi dimulai dari seleksi di IRO ITB, lolos ter-nominasi ke universitas tujuan, lalu melakukan pendaftaran exchange di website TiTech. Saat pendaftaran exchange di website TiTech, selain berkas-berkas, ada surat pernyataan kesediaan Sensei yang labnya kita tuju. Sayangnya, saat itu saya menunggu lolos ter-nominasi dahulu, baru menghubungi Sensei di lab incaran saya. Alhasil, lab incaran saya sudah tidak ada slot (terambil oleh siswa exchange negara lain 😢). Tapi saya tak patah-arang, jadi saya cari lab yang bidangnya mendekatiriset saya… Ini bisa jadi pelajaran agar teman-teman sebaiknya jangan menunggu dekat jadwal pendaftaran exchange untuk mengontak Sensei, karena nanti slot di lab idaman diambil orang 🙂 Sebenarnya bisa saja teman-teman mencari lab yang bidangnya “mirip” (seperti kasus saya), tapi nanti ada risiko kerjaan riset teman-teman bukan “terbantu” tapi malah seperti “pindah tempat kerja” (Indonesia-Jepang) atau ter-distraksi dengan kesibukan lab (yang mungkin tidak sejalan riset kita)… Yah, walaupun mengerjakan riset di TiTech suasananya kondusif sekali 🥳 Selain itu, exchange juga bisa jadi kesempatan emas untuk mencari post-doc 🙂


Foto saat acara barbeque PPI bersama siswa Indonesia di TiTech saat musim gugur
(Kredit: Nabiel, siswa TiTech anggota PPI)

Poin kedua yang berkesan sekali buat saya, selain masalah pemilihan lab, sebagai siswa S3 yang menjalani exchange, kesibukan kita terasa berbeda sekali dengan siswa exchange S1/S2 (dari banyak negara) yang sangat mungkin meng-eksplor Jepang (alias jalan-jalan), jangan ngiri… 😀 Karena kesibukan siswa S1/S2 adalah belajar di kelas dan beradaptasi dengan dunia riset di TiTech, sedangkan siswa S3 disertai pekerjaan risetnya sendiri yang seperti “never-ending project” 🙂 Jadi, menurut saya, walau mungkin tak sebebas merpati siswa S1/S2, sebagai siswa S3 bisa memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memperluas jaringan, misalnya ikut jadi subjek riset di lab yang risetnya sebidang (jadi tahu cara kerja lab tersebut seperti apa), berkenalan dan diskusi dengan teman-teman S2/S3 Indonesia di lab riset yang sebidang, mengambil kelas kuliah yang setopik dengan riset kita (bisa jadi jembatan berdiskusi dengan Sensei-nya juga), atau berkomunikasi dengan pelajar Indonesia di sana (siapa tahu mau cari kesempatan kerjasama riset atau post-doc hehe…).

Pesan ketiga, selain kesibukan riset, kalau bisa sempatkan mengeksplor Jepang walau cuma ke kota sebelah, karena salah satu penyakit siswa S3 adalah “burn out” atau jenuh tingkat “dewa”, apalagi jauh dari keluarga di negara yang asing buat kita. Kalaupun mau eksplorasi agak jauh, bisa memanfaatkan bus malam sehingga hemat waktu (besoknya me-riset lagi hehe 😀). Selain itu, saat masa exchange di TiTech, mengambil kelas bahasa Jepang setahu saya wajib dilakukan, dan memang kita butuhkan untuk bertahan hidup 🙂 sekaligus bisa jadi hiburan di samping me-riset serta berteman dengan siswa-siswa exchange dari negara lain. Jangan kuatir dengan yang tidak bisa bahasa Jepang, saya pun begitu, dan banyak juga dari banyak negara lain yang senasib lho…. Butuh 2-4 minggu untuk bisa tidak nyasar dengan jalur kereta Jepang dan 1-2 bulan untuk bisa paham perkataan orang Jepang walaupun menebak dari gestur dan kondisi percakapan.


Foto saat mendaki gunung Takao bersama tim Tengu (Takao-san English Volunteer Guide Club) dan (kebetulan sekali) kebanyakan pesertanya mahasiswa TiTech dari Indonesia
(Kredit: Tengu)

Demikian cerita singkat yang semoga membantu dan menyemangati teman-teman S3 untuk exchange. Masa exchange kemarin buat saya berkesan sekali, dan saya manfaatkan belajar banyak hal selain hanya me-riset… Merasakan dunia edukasi di negara lain itu menjadi pengalaman berharga dan memperluas wawasan.